Selamat pagi jika pagi, siang jika
siang malam jika malam hehee.
Jumpa lagi bersama kami wilayah anak teknik, kali ini wilayah anak teknik
ingin membeberkan informasi yang sangat menarik yaitu beberapa ilmuan yang ada
di Indonesia.
Kutipan di bawah kami ambil dari berbagai sumber agar para pembaca biasa
mendapat kan informasi yang lebih banyak lagi hehe.
Tujuan wilayah anak teknik memposting ini agar kita anak teknik tidak
berhenti berkarya mengingat begitu bantak ilmuan yang ada di Indonesia
yang telag mengguncan dunia dengan karya-karya nya.
Berikut adalah ilmuan hebat asal indonesia:
1. Penemu Teori, Faktor dan Metode Habibie (Teknologi
Pesawat Terbang)
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Kulit luarnya bisa saja
terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos.
Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun
lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi
pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada
awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan
konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit
dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser
yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Titik rawan kelelahan ini
biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara
sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan
terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas,
sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh
landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan
logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).
Titik rambat, yang kadang mulai
dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan
bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa
sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat
peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller
ke jet. Potensi fatique makin besar.
Pada saat itulah muncul anak
muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur
tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin
Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni
1936.
Habibie-lah yang kemudian
menemukan bagaimana rambatan titik crack itu bekerja. Perhitungannya sungguh
rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini
lantas dinamakan crack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan
sebagai Mr. Crack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja
bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya
lebih mudah dan murah.
Sebelum titik crack bisa
dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan
konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya,
meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya.
Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang,
material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik crack bisa
dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih campuran
material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi,
aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan,
terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan
operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar)
hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25%
setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun
pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot
pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara
umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga
secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie ternyata juga
berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka
pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang
oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga
pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga
mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi
penambah potensi fatique menjadi turun.
Riwayat keilmuan Habibie
dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische
Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama
setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi
gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil
melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut
Konstruksi Ringan di kampusnya.
Otak Habibie makin kelihatan
encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma cum laude
pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya dipercaya
jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger
Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan
konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya dalam kurun
waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.
Ia meraih kepercayaan lebih
bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu diantara buah
karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu
tinggal landas dan mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama
industri Donier. Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar
Angkasa Amerika Serikat (NASA).
Habibie hanya sampai tahun 1969
saja di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB),
industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini,
karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB
disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang
mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.
Di tempat ini pula Habibie
menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika
dan crack progression. Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie
ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode
Habibie. Paten dari semua temuan itu telah diakui dan dipakai oleh dunia
penerbangan internasional.
Pesawat Airbus A-300 yang
diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak lepas
dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung Daimler,
produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas
royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu.
Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket
di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.
Tahun 1978, Habibie dipanggil
pulang ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah
dalam upaya pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia, Hasilnya antara
lain pesawat terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.
Prestasi keilmuan Habibie
mendapat pengakuan di dunia internasional. Ia menjadi anggota kehormatan
berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain di Gesselschaft fuer Luft
und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal
Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering
Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l’Air et de l’Espace (Prancis) dan
The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sedangkan dalam bentuk
penghargaan, Habibie menerima Award von Karman (1992) yang di bidang
kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dan
dua tahun kemudian menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward
Warner Award. (Hidayat Gunadi, Hatim Ilwan)
Kulit luarnya bisa saja
terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos.
Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun
lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi
pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada
awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan
konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit
dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser
yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Titik rawan kelelahan ini
biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara
sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan
terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas,
sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh
landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan
logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).
Titik rambat, yang kadang mulai
dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan
bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa
sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat
peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller
ke jet. Potensi fatique makin besar.
Pada saat itulah muncul anak
muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur
tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin
Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni
1936.
Habibie-lah yang kemudian
menemukan bagaimana rambatan titik crack itu bekerja. Perhitungannya sungguh
rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini
lantas dinamakan crack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan
sebagai Mr. Crack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja
bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya
lebih mudah dan murah.
Sebelum titik crack bisa
dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan
konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya,
meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya.
Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang,
material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik crack bisa
dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih campuran
material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi,
aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan,
terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan
operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar)
hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25%
setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun
pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot
pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara
umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga
secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie ternyata juga
berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka
pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang
oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga
pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga
mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi
penambah potensi fatique menjadi turun.
Riwayat keilmuan Habibie
dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische
Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama
setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi
gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil
melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut
Konstruksi Ringan di kampusnya.
Otak Habibie makin kelihatan
encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma cum laude
pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya dipercaya
jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger
Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan
konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya dalam kurun
waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.
Ia meraih kepercayaan lebih
bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu diantara buah
karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu
tinggal landas dan mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama
industri Donier. Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar
Angkasa Amerika Serikat (NASA).
Habibie hanya sampai tahun 1969
saja di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB),
industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini,
karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB
disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang
mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.
Di tempat ini pula Habibie
menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika
dan crack progression. Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie
ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode
Habibie. Paten dari semua temuan itu telah diakui dan dipakai oleh dunia
penerbangan internasional.
Pesawat Airbus A-300 yang
diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak lepas
dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung Daimler,
produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas
royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu.
Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket
di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.
Tahun 1978, Habibie dipanggil
pulang ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah
dalam upaya pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia, Hasilnya antara
lain pesawat terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.
Prestasi keilmuan Habibie
mendapat pengakuan di dunia internasional. Ia menjadi anggota kehormatan
berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain di Gesselschaft fuer Luft
und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal
Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering
Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l’Air et de l’Espace (Prancis) dan
The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sedangkan dalam bentuk
penghargaan, Habibie menerima Award von Karman (1992) yang di bidang
kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dan
dua tahun kemudian menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward
Warner Award. (Hidayat Gunadi, Hatim Ilwan)
Sumber:
Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004.
2. SEPTINUS GEORGE SAA
Penemu Rumus Penghitung Hambatan antara
Dua Titik Rangkaian Resistor . . .
Pada pertengahan April 2004, media-media
massa di Indonesia tiba-tiba santer memberitakan tentang Septinus George Sa’a.
Pemuda ini telah memenangi lomba “First Step to Noble Prize in Physics”. Ini
adalah lomba bergengsi bagi siswa sekolah menengah seantero jagad selain
Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini
mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang
fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke
juri Internasional di Polandia. Sementara dalam Olimpiade Fisika para peserta
diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan. Pada
kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics" hasil riset Septinus
George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.
Oge, demikian panggilan akrabnya,
menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak
hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan
dalam papernya "Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of
Identical Resistor" itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang
masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika
dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17
tahun asal Jayapura ini menggondol emas.
Paper Oge yang masuk lewat surat
elektronik di hari terakhir lomba itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah
dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya mengatakan formula
Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula.
Kemenangan Oge mengikuti jejak para genius
Indonesia sebelumnya. Lima tahun lalu I Made Agus Wirawan dari Bali juga meraih
emas pada kompetisi serupa.
Oge adalah putera asli Papua. Tanah
kelahirannya, di ujung timur Indonesia, hingga kini tak usai didera konflik.
Lima orang presiden yang datang dan pergi selama 59 tahun Indonesia merdeka tak
pernah berhenti berjanji meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bumi
cendrawasih sana. Tapi janji hanya janji. Kemunculan Oge di panggung
internasional seperti mengingatkan bahwa ada
mutiara-mutiara bersinar yang perlu mendapat perhatian di kawasan
timur Indonesia.
Oge lahir dari keluarga sederhana.
Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge
lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce Wofam, dan kelima
anak mereka, harus mengolah ladang, menanam umbi-umbian. Kelima anak Silas
mewarisi keenceran otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan Menengah
Atas tahun 1969, sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala
itu.
Apulena Saa, puteri sulung Silas,
mengikuti jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana Kehutanan lulusan
Universitas Cendrawasih. Franky Albert Saa, putera kedua, saat ini tengah
menempuh Program Magister Manajemen pada Universitas Cendrawasih. Yopi Saa,
putera ketiga, adalah mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia,
Jakarta. Agustinus Saa, putera keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan
Universitas Negeri Papua, Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di
panggung internasional. "Semua anak mama tidak manja dengan uang, sebab
kami tidak punya uang," tutur mama Nelce usai menemani puteranya menerima
penghargaan dari Departemen Kehutanan, Selasa (22/6/2004), di Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Ia bertutur, karena minimnya ekonomi
keluarga, Oge sering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP. Jarak dari rumah
ke sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik "taksi" (angkutan umum)
dengan ongkos Rp 1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi.
"Tidak bisa jajan. Untuk naik "taksi" saja mama sering tidak
punya uang. Kalau Oge mau makan harus pulang ke rumah,” katanya.
Oge lahir 22 September 1986. Ia memang
pintar sejak kecil. Tidak seperti Einstein yang pernah tinggal kelas, Oge kecil
selalu juara kelas sejak di bangku SD hingga SMP. Bahkan ketika kelas IV SD
gurunya menawari untuk ikut Ebtanas kelas VI. Namun, mamanya melarang karena
saat itu kakaknya, Agustinus Saa, juga duduk di kelas VI.
Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti
karena uang. Pemuda yang dikenal sebagai playmaker di lapangan basket ini
adalah orang yang haus untuk belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang
haus seperti Oge. Prestasinya di bidang fisika bukan semata-mata karena ia menggilai
ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini.
"Saya tertarik fisika sejak SMP.
Tidak ada yang khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka
belajar saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya,"
katanya. "Semua mata pelajaran di sekolah saya suka kecuali PPKN
(Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan). Pelajaran itu membosankan dan
terlalu banyak mencatat. Saya suka kimia, sejarah, geografi, matematika,
apalagi bahasa Indonesia. Saya selalu bagus nilai Bahasa Indonesia,"
tambahnya.
Selepas SD dan SMP yang kerap diwarnai
bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah
unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai
dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti
menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia
mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika
dunia.
Kebrilianan otak mutiara hitam dari timur
Indonesia ini mulai bersinar ketika pada 2001 ia menjuarai lomba Olimpiade
Kimia tingkat daerah. Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke Jakarta
dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun mamanya melarang putera bungsunya
berangkat ke Ibu Kota. Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan
kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru
memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat.
Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah
Papua.
Oge kemudian membuktikan bahwa
kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya berganti menjadi
tangis haru ketika November 2003 ia menduduki peringkat delapan dari 60
perserta lomba matematika kuantum di India. Prestasinya memuncak tahun ini
dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya. Mamanya pun tidak pernah
menangis lagi.
"Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya
ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat
hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya
dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman," kata dia.
Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh
Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus
mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus
membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah
orisinil gagasannya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di
Polish Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan
jempolan.
Sepulang dari Polandia nanti, Oge sudah
memutuskan untuk mengambil studi S1-nya di Indonesia di Jurusan Fisika
Universitas Pelita Harapan. Meski sejumlah tawaran bantuan terus mengalir
kepadanya untuk melanjutkan studi di luar negeri, di antaranya dari Group
Bakrie dan Freeport, Oge merasa belum siap untuk meninggalkan tanah air.
"Nantilah, untuk S2 dan S3 saya ke luar negeri. Kalau sekarang saya
belajar di Amerika, saya belum siap. Saya harus belajar lagi bahasa. Selain
itu, fisika itu kan luas. Ada banyak yang harus saya pelajari. Harus ada orang
yang betul-betul mendampingi saya," ujar dia.
Ya, Oge mengaku masih membutuhkan Yohanes
Surya. Ia masih membutuhkan tangan dingin guru sekaligus sosok yang dikaguminya
itu mengasah otaknya. "Dia (Yohanes Surya) orangnya beriman.
Dia ilmuwan tapi tidak atheis. Dia sangat membantu saya," kata Oge tentang
gurunya itu. (Heru Margianto) ---
Sumber: Harian Kompas, 27 Juni 2004.
3. Adi Rahman Adiwoso - Penemu Teknologi Baru dalam Telepon Bergerak Berbasis
Satelit
Ir. Adi Rahman Adiwoso M.Sc (lahir
di Yogyakarta, 26 Juli 1953; umur 62 tahun) adalah ilmuwan dan penemu berkebangsaanIndonesia di bidang aeronautika. Mengenyam pendidikan tinggi di Bachelor
of Science dari Universitas Purdue, Amerika Serikat (1975) dan Master of Science BidangAeronautika dan Astronautika, Institut Teknologi California, Amerika Serikat. Ia magang di bagian perakitan satelit Hughes Aircraft,
salah satu kontraktor pertahanan internasional terbesar yang basisnya ada di California. Setelah 8 tahun berkerja Adi pulang ke
tanah kelahirannya, Yogyakarta. Berbekal keahliannya dia lantas
menghasilkan teknologi sekaligus produk baru yang belum pernah ada di pasaran
dunia. Teknologi ini memungkinkan komunikasi handphone mampu dilakukan di mana
saja. Meski jaringan kabel belum menjangkau dan telepon seluler kehilangan sinyal, sistem telekomunikasi temuan ini tetap bisa.
Alat telekomunikasi bebas
blank spot dan hemat tempat ini dimungkinkan berkat ide memasang satelit telekomunikasi
di orbit geostationer. Di lintasan
imajiner yang letaknya 36.000 km di atas permukaan bumi itulah, Adi menempatkan
satelit Garuda 1. Satelit gagasannya itu berbobot 4,5 ton yang dilengkapi dua
antena payung kembar selebar 12 meter dan mampu menjangkau sepertiga kawasan
dunia. Karena ukurannya cukup besar, intensitas pancaran sinyalnya juga cukup
besar.
Peluncuran satelit sipil terbesar di dunia pada Februari 2000 itu mengejutkan operator
telepon satelit dunia. Karena seluruh satelit telekomunikasi dunia diluncurkan
di orbit rendah (600 – 1.000 km) dan menengah (7.000 – 10.000 km). Daya jangkau
satelit-satelit itu terbatas. Agar dapat meliput satu belahan dunia butuh
sekitar 60 satelit berorbit rendah atau 12 satelit berorbit menengah. Kelemahan
lain pengoperasian sistem telekomunikasi satelit pada telepon bergerak ketika
itu adalah pesawatnya yang tidak praktis. Perangkat telepon bergerak yang bisa
digunakan untuk berkomunikasi via satelit ukurannya besar, sebesar ransel.
Untuk mengoperasikannya juga perlu stasiun bumi,
berupa antena parabola berdiameter
satu meter. Terobosan yang dilakukan Adi tak hanya memperluas cakupan satelit,
juga memperkecil dimensi pesawat telepon bergerak berbasis satelit ini. Dengan
daya pancar 10 kw, sinyal Garuda 1 bisa diterima dengan pesawat telepon genggam
yang sekaligus merupakan stasiun bumi. Jaringan telepon satelit itu diberi nama
Byru.
Cara kerja telepon ini sangat bergantung pada Garuda 1, yang
dikendalikan fasilitas pengontrol satelit di pulau Batam. Dikota itu juga dibangun
pusat kendali jaringan (network control center – NCC), yakni pengatur arus
percakapan dengan panel pengaturnya. Garuda 1 mampu melayani 22.000 pembicaraan
pada saat bersamaan. Selain itu, dibangun pula sebuah pintu gerbang (gateway)
yang berfungsi sebagai operator lokal. Dengan Byru, pelanggan bisa menghubungi
sesama telepon satelit, ke telepon GSM serta ke telepon rumah. Tiap permintaan
sambungan akan dilakukan melalui satelit. Permintaan itu dianalisis oleh NCC
Batam, untuk menentukan identitas penelepon dan menentukan gateway mana yang
cocok dengan tujuan panggilan. Setelah itu, permintaan sambungan akan
diteruskan ke telepon tujuan. Pembicaraan pun berlangsung. Semua proses itu
berjalan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik.
Untuk mewujudkan gagasan itu, Adi memang
tak melakukannya sendirian. Meskipun Garuda 1 dibuat oleh Hughes Aircraft
(dimana Adi pernah bekerja), Amerika Serikat dan R190
dibuat Ericsson, Swedia, rancangannya dibuat sendiri oleh Adi dan timnya di PT.
Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang didirikan Adi dan Iskandar Alisjahbana pada
tahun1991. Bersama
guru besar dan mantan Rektor ITB itulah, lahir Byru dan Pasti – merek dagang sistem
telepon satelit buatan PSN. Tanpa keberanian memasarkan sendiri, bisa jadi
temuan telepon satelit geostationer itu cuma jadi prototipe di laboratorium.
Atau mmenjadi barang milik perusahaan asing yang mampu memodali temuan
tersebut. Dengan perangkat telekomunikasi PSN ini, Byru, Pasti (Pasang Telepon
Sendiri) dan jasa internet Bina (Balai Informasi Nusantara), penduduk-penduduk
daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel dan nirkabel lainnya tetap
bisa bertelepon dan menjelajah informasi lewat internet. Pada akhir tahun 2003, PSM mengklaim
telah membebaskan 2.975 desa di 40 kabupaten di Indonesia dari
isolasi telekomunikasi dengan perangkatnya yang berbasis satelit.
Sumber, Wikipedia
4. Evvy Kartini, Ahli Nuklir Kaliber Internasional
Liputan6.com, Serpong: Di
Indonesia, teknologi tenaga nuklir masih menjadi hal yang asing. Namun ternyata
kita boleh berbangga, sebab Indonesia justru memiliki seorang ahli yang
prestasinya telah diakui dunia. Doktor rer. Nat. (rerum naturalium) Evvy Kartini
adalah salah satu dari hanya sepuluh ahli sejenis yang ada di dunia. Di
kalangan internasional, Evvy memiliki reputasi terhormat. Ia dikenal sebagai
ilmuwan penemu penghantar listrik berbahan gelas.
Bagi kebanyakan orang, gelas biasanya hanya dipergunakan sebagai barang pecah belah alat rumah tangga. Namun tidak begitu bagi Evyy Kartini. Karena itulah, saat mendapat kesempatan belajar di Jerman, ia mulai menjajaki penelitian terhadap material gelas. Saat itu sarjana Fisika lulusan Institut Teknologi Bandung itu magang di Hahn Meitner Institute (HMI) di Berlin, Jerman, 1990. Evvy pun dibimbing ahli hamburan neutron Prof. Dr. Ferenc Mezei.
Adapun karier penelitian Evvy dimulai ketika menyelesaikan S2-nya. Waktu itu ia berhasil menemukan model baru difusi dalam material gelas. Evyy kemudian membuat berbagai penelitian dari bahan gelas. Seperti saat ini, ia membuat baterai mikro yang dapat diisi ulang. Baterai yang merupakan hasil proses dengan metode teknik hamburan neutron itu, mampu menghasilkan daya yang lebih besar dibanding baterai yang ada saat ini dan juga ramah lingkungan.
Hasil riset yang dilakukan oleh Evvy sudah mendapat tanggapan dari para pelaku industri di dalam negeri. Kolega-koleganya di dunia internasional juga telah mengirimkan surat kesediaan untuk mengucurkan dana puluhan ribu dolar Amerika Serikat guna penelitian penerima Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Megawati Sukarnoputri--presiden saat itu. Ia pun mulai berkolaborasi dengan profesor dari Organisasi Sains dan Teknologi Nuklir Australia (ANSTO).
Keberhasilan yang diperoleh Evvy sekarang ternyata tidak didapat begitu saja. Sebelum menemukan bahan-bahan gelas berpenghantar listrik superionik, sempat membuatnya putus asa. Karena, biaya dan fasilitas penelitian di Tanah Air, tidak memungkinkan dilakukan penelitian. Bahkan, saat melanjutkan studinya di Jerman, banyak pengorbanan yang dilakukannya. Akibat kegigihan dan semangat pantang menyerah, Evvy mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude atau terpuji.
Sederet prestasi lainnya juga didapat saat Evvy berada di Jerman. Dan, yang paling berkesan adalah saat terpilih sebagai wanita Asia pertama yang mengikuti Program Hercules. Pada 1994, namanya mulai tercatat dalam jurnal penelitian internasional bergengsi seperti Physica B. Sejak itu, tawaran presentasi dan konferensi mengalir deras. Akhirnya pada 1998-2000 namanya tercatat di sepuluh jurnal bergengsi sebagai peneliti utama.
Segudang prestasi berkaliber internasional tidak membuat Evvy lupa dengan kodratnya sebagai seorang istri dan juga ibu. Di rumah, ibu dua anak kelahiran 22 April 1965 itu, selalu menyempatkan diri mendampingi buah hatinya beraktivitas. Beragam kegiatan, pastilah rasa lelah kadang menghinggapi Evvy. Namun ia memiliki cara jitu untuk mengusirnya yakni cukup dengan bermain piano.(JUM/Ariyo Ardi dan Agus Kusno)
Bagi kebanyakan orang, gelas biasanya hanya dipergunakan sebagai barang pecah belah alat rumah tangga. Namun tidak begitu bagi Evyy Kartini. Karena itulah, saat mendapat kesempatan belajar di Jerman, ia mulai menjajaki penelitian terhadap material gelas. Saat itu sarjana Fisika lulusan Institut Teknologi Bandung itu magang di Hahn Meitner Institute (HMI) di Berlin, Jerman, 1990. Evvy pun dibimbing ahli hamburan neutron Prof. Dr. Ferenc Mezei.
Adapun karier penelitian Evvy dimulai ketika menyelesaikan S2-nya. Waktu itu ia berhasil menemukan model baru difusi dalam material gelas. Evyy kemudian membuat berbagai penelitian dari bahan gelas. Seperti saat ini, ia membuat baterai mikro yang dapat diisi ulang. Baterai yang merupakan hasil proses dengan metode teknik hamburan neutron itu, mampu menghasilkan daya yang lebih besar dibanding baterai yang ada saat ini dan juga ramah lingkungan.
Hasil riset yang dilakukan oleh Evvy sudah mendapat tanggapan dari para pelaku industri di dalam negeri. Kolega-koleganya di dunia internasional juga telah mengirimkan surat kesediaan untuk mengucurkan dana puluhan ribu dolar Amerika Serikat guna penelitian penerima Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Megawati Sukarnoputri--presiden saat itu. Ia pun mulai berkolaborasi dengan profesor dari Organisasi Sains dan Teknologi Nuklir Australia (ANSTO).
Keberhasilan yang diperoleh Evvy sekarang ternyata tidak didapat begitu saja. Sebelum menemukan bahan-bahan gelas berpenghantar listrik superionik, sempat membuatnya putus asa. Karena, biaya dan fasilitas penelitian di Tanah Air, tidak memungkinkan dilakukan penelitian. Bahkan, saat melanjutkan studinya di Jerman, banyak pengorbanan yang dilakukannya. Akibat kegigihan dan semangat pantang menyerah, Evvy mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude atau terpuji.
Sederet prestasi lainnya juga didapat saat Evvy berada di Jerman. Dan, yang paling berkesan adalah saat terpilih sebagai wanita Asia pertama yang mengikuti Program Hercules. Pada 1994, namanya mulai tercatat dalam jurnal penelitian internasional bergengsi seperti Physica B. Sejak itu, tawaran presentasi dan konferensi mengalir deras. Akhirnya pada 1998-2000 namanya tercatat di sepuluh jurnal bergengsi sebagai peneliti utama.
Segudang prestasi berkaliber internasional tidak membuat Evvy lupa dengan kodratnya sebagai seorang istri dan juga ibu. Di rumah, ibu dua anak kelahiran 22 April 1965 itu, selalu menyempatkan diri mendampingi buah hatinya beraktivitas. Beragam kegiatan, pastilah rasa lelah kadang menghinggapi Evvy. Namun ia memiliki cara jitu untuk mengusirnya yakni cukup dengan bermain piano.(JUM/Ariyo Ardi dan Agus Kusno)
Sumber: liputan6
5. Yudi Utomo Imardjoko: Penemu Kontainer Limbah Nuklir
Ketika
krisis listrik terjadi, beberapa kelompok masyarakat kembali terpikir untuk
membangun pusat listrik tenaga nuklir.
Gagasan
ini memunculkan pro dan kontra. Kebanyakan orang yang menolak pembangunan pusat
listrik bertenaga nuklir karena takut akan tingkat keamanan dan juga problem
limbah nuklir.
Di
Indonesia limbah nuklir itu belum ada. Hebatnya, limbah belum ada, keranjang
penyimpan limbah nuklir sudah disiapkan oleh Yudi Utomo Imardjoko, sarjana nuklir
yang memperoleh gelar doktor dari Iowa State University, Amerika Serikat, dalam
usia 32 tahun. Ia menemukan rancangan kontainer untuk menampung limbah nuklir
yang tahan puluhan ribu tahun ditanam dalam tanah dengan aman.
“Problem
utama pemakaian energi nuklir itu pada soal menyimpan limbah untuk selamanya. Salah
satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan kontainer adalah harus
tahan sampai 10.000 tahun,” kata Yudi yang memimpin Pusat Studi
Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM), Yogyakarta.
Bersama dengan sarjana lain di seluruh dunia, Yudi berlomba membuat rancangan kontainer yang panjangnya enam meter dan diameter satu meter itu.
Bersama dengan sarjana lain di seluruh dunia, Yudi berlomba membuat rancangan kontainer yang panjangnya enam meter dan diameter satu meter itu.
Rancangan
dosen Fakultas Teknik Nuklir UGM itu sudah masuk dalam lembaran Department of
Energy Amerika Serikat dan memenuhi kualifikasi yang diminta serta berhak ikut
tender pembuatan kontainer itu.
“Tender
akan dilakukan tahun 2005. Mereka membutuhkan 12.000 kontainer. Limbah nuklir
di AS makin lama makin menumpuk di dalam gudang. Itu tak bisa terus-menerus
dijalankan. Itu tak sesuai dengan aturan. Limbah harus disimpan di dalam tanah
dengan kontainer yang tahan terhadap segala kerusakan,” tambah pria
beristri drg Trina M.Kes ini.
Ia
mengajak perusahaan yang mampu mengikuti pemikirannya dengan gagasan yang
semakin berkembang berkat bantuan rekan-rekannya. Untuk mengikuti tender di AS,
Yudi merangkul Nuclear Assurance Corporation (NAC), sebuah perusahaan asli
negara itu. Adapun untuk pembuatan kontainer di Indonesia, ia bekerja sama
dengan Boma Bisma Indra (BBI).
Proses
penemuannya memakan waktu lama. Rumus desain itu berawal ketika Yudi menjadi
mahasiswa S3 di AS. Konsepnya sudah sering dipresentasikan di berbagai forum,
tetapi perhitungan yang rinci tidak pernah dibuka.
“Menurut
guru besar pembimbing saya, perhitungan yang saya miliki merupakan yang paling
bagus. Ia bilang, itu semua untuk you saja dan dipatenkan. Lalu, perhitungan
itu saya bawa pulang ke Indonesia dan dimatangkan,” katanya.
Pembimbingnya, Profesor Daniel Bullen, adalah staf ahli Bill Clinton (Presiden
AS kala itu) untuk bidang nuklir dan berlanjut di era Presiden George W Bush.
Untuk
mematangkan rancangan itu, dari pemerintah ia mendapat dana riset unggulan
terpadu (RUT) dan kemudian riset unggulan kemitraan (RUK) yang merupakan kerja
sama dengan BBI.
Menurut
perkiraan Yudi, pada tahun 2003 paten dari AS sudah keluar, sedangkan dari
Indonesia keluar tahun depannya karena waktu tunggunya lebih lama.
Ia
yakin memenangi tender itu. Kontainer dibuat di Indonesia sehingga harganya
murah, Rp 3,5 miliar.“Kalau
Amerika butuh 12.000 buah, omzetnya sangat lumayan,” tuturnya.
Sambil
menunggu poses paten serta tender di AS, Yudi aktif memimpin PSE, lembaga untuk
mencari energi alternatif.
“Di
negara-negara maju, orang sudah berpindah dari minyak dan gas ke energi yang
renewable. Itu melalui fase-antara yang namanya nuklir. Mereka tidak mau
bergantung pada OPEC, tak mau dikendalikan harganya, lalu dikembangkan energi
nuklir. Kita sulit pakai nuklir karena acceptance masyarakat yang rendah.
Akhirnya PSE memosisikan kita harus mempunyai keunggulan energi karena semua
arahnya menuju energi yang terbarukan. Ya sudah, kita langsung saja ke sana,”paparnya.
Setelah
melakukan pengkajian, pilihan energi terbarukan jatuh pada energi surya, bukan
biomass dan biogas. Matahari merupakan sumber energi terbarukan dengan
ketersediaan yang paling gampang.
Di
masa depan, PSE mempunyai obsesi untuk mendayagunakan air sebagai energi yang
bisa menggantikan bahan bakar minyak. Tuturnya, “Dalam waktu lima tahun lagi, semoga
saja kita dapat membuat jumpa pers dengan wartawan dengan materi temuan energi
hidrogen itu.”
Untuk
menengok keluarga, ia wira-wiri ke Melbourne. Di sana ia bertemu dengan pejabat
BP Solar, sebuah divisi dari perusahaan minyak BP, yang memproduksi panel
tenaga surya yang mutunya bagus dan harganya kompetitif. Kini PSE selalu
memakai panel produk BP.
“Nanti
jika setiap tahun sudah mampu memasarkan 10.000 unit sistem listrik tenaga
surya, kita akan membuat pabrik sendiri. Bahan bakunya mudah. Wong cuma pasir
pantai. Saya yakin pengguna tenaga surya akan makin banyak, pasar di Indonesia
makin terbuka luas,” ujar
putra mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Prof Dr Imam Bernadib itu.
PSE
beberapa bulan lalu telah memberikan pernyataan bahwa krisis kelistrikan sudah
di dalam kondisi bencana nasional. Pasokan listrik akan semakin menurun dan
kualitasnya akan semakin jelek, sementara rasio elektrifikasi di Indonesia baru
mencapai 50 persen lebih sedikit.
“Salah
satu yang dapat dilakukan secara individu adalah menyadarkan bahwa listrik
dapat kita upayakan sendiri. Pemasok daya besar, seperti PLN, kita posisikan
sebagai salah satu cara pemenuhan kebutuhan listrik, bukan segala-galanya.
Artinya, kita pun mengetahui berapa kebutuhan listrik kita dan bagaimana
menjaga agar kebutuhan listrik itu dapat dipenuhi terus-menerus sesuai dengan
keinginan kita,” tambah
Yudi.
Listrik
tenaga surya dapat dimanfaatkan di daerah yang sangat terpencil sampai di perkotaan.
Kelebihan listrik yang dihasilkan bahkan dapat dijual kepada pihak lain.
“Daya
pasokan kita mungkin jumlahnya kecil, namun kalau diupayakan oleh jutaan
masyarakat Indonesia, daya yang terkumpul menjadi besar dan signifikan. Krisis
kelistrikan yang terjadi sekarang adalah sebuah pelajaran bagi kita semua untuk
membangun kesadaran menuju prinsip kemandirian,” tegasnya.
PSE
selama enam bulan ini sudah membangun lebih dari 2.000 unit panel sistem
listrik bertenaga surya. Dari pelosok desa dan luar Jawa serta perkotaan, dan
untuk yang paling besar, mereka akan membangun sistem listrik tenaga surya di
Kupang. Luas panel yang akan dijajarkan sama dengan satu lapangan sepak bola,
daya yang dihasilkan satu megawatt.
Investasi
listrik bertenaga surya bervariasi, dari order Rp 3 juta sampai miliaran
rupiah, bergantung pada kemampuan finansial warga masyarakat. Dana yang
tertanam itu akan kembali dalam waktu 5-12 tahun bergantung pada pilihan
teknologinya.
“Pertumbuhan
kebutuhan listrik dengan tenaga surya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
kita. Jadi, kita menumbuhkan kemampuan kita untuk semakin mandiri dalam
memenuhi kebutuhan kita sendiri,” demikian paparnya.
6. PUJI SLAMET
ARIF Penemu Motor Listrik Hemat Energi
Pendidikan boleh tak tamat SLTP. Tapi, ini
bukan hambatan bagi Puji Slamet Arif untuk berkarya. Setelah melalui proses
coba-coba selama 10 tahun, Puji akhirnya berhasil menciptakan motor listrik
yang diyakininya bisa menghemat energi listrik hingga 75 persen.
Tubuhnya kurus. Rambutnya sudah banyak
yang memutih. Cara bicaranya ceplas-ceplos dan selalu percaya diri. "Meski
saya ini bukan orang pendidikan, tapi saya punya pengalaman. Pengalaman inilah
yang membuat saya yakin akan karya saya ini," kata Puji yang mengaku lahir
di Bapinang Bulu, Sampit ini. "Saya siap diuji oleh profesor mana
pun," ujar pria 53 tahun ini.
Apa yang dikatakan Puji ini bukanlah
sekadar isapan jempol. Motor listrik ciptaannya yang diberi nama Taheta (dari
bahasa Dayak, artinya baru) itu bahkan sudah dipresentasikannya di ITS
(Institut Teknologi 10 November). "Ini buktinya," kata Puji, sambil
menyodorkan dua lembar surat berkop ITS. Dalam surat yang ditandatangani
Pembantu Rektor (Purek) IV Ir Daniel Mochammad Rosyid itu disebutkan, bahwa
motor listrik karya Puji ini memang tergolong karya inovatif yang orisinil.
Dia menceritakan, pada 6 September lalu,
karyanya dipresentasikan di depan beberapa dosen ITS. Di antaranya Ir Daniel M.
Rosyid (Purek IV ITS), Dr Ir Soeprapto (Ketua Hak Kekayaan Intelektual ITS) dan
Ir Margo Pujiantoro MT (Dosen Teknik Elektro ITS).
Alat ciptaan Puji itu dikemas sangat
sederhana. Bentuknya bulat dengan diameter sekitar 25 centi meter. Alat
tersebut ditutup dengan triplek. Ada kabel yang dihubungkan dengan aki 10 A
(amper) 12 volt.
Selain menciptakan Taheta, Puji juga
mengaku telah menciptakan tiga mesin yang dinamainya Taheta Hindai (lebih
baru), Taheta Kia (baru juga), dan Taheta Toto (terbaru). "Semua temuan
itu saya namakan dengan bahasa dayak karena saya ingin mempopulerkan bahasa
dayak," ujar Puji.
Untuk membuat karya-karyanya itu, Puji tak
mau setengah-setengah. "Saya butuh waktu 10 tahun untuk menciptakan
keempat alat itu. Utak-atik alat dan mencobanya, begitu seterusnya," kata
laki-laki yang saat ini tinggal di rumah kakaknya di Urip Sumoharjo.
Ketertarikan Puji pada hal-hal berbau
teknik diawali saat Puji berusia 8 tahun. "Ayah saya punya dua kapal
bermotor yang tiap hari digunakan untuk berjualan sayur di pasar terapung
sepanjang sungai Sampit," tutur putra ke lima pasangan (alm) Badri Arif
dan Dewi Mulat ini. Setiap hari, Puji dipercaya ayahnya untuk memegang kemudi
kapal keliling sungai Sampit. Hingga suatu saat, tiba-tiba motor kapalnya
ngadat gara-gara kehabisan minyak. "Waktu ayah saya membongkar motor
kapal, saya jadi tertarik untuk mempelajari seluk-beluk motor listrik,"
papar pria yang sebagian rambutnya telah memutih ini.
"Waktu itu, saya sempat penasaran,
bagaimana jika minyak dan semua hasil bumi telah habis. Pasti repot sekali.
Semua mesin yang berbahan bakar minyak pasti mati," tutur pria yang hobi
melihat program discovery channel ini. Inilah yang lantas menggelitik Puji,
selanjutnya dia bertekat untuk menggeluti hal-hal yang berbau teknik.
"Jujur saja, setiap hari saya terus memikirkan cara membuat alat yang
mampu bekerja tanpa menggunakan energi listrik, minimal, jika tetap memakai listrik,
alat yang saya ciptakan itu harus bisa seirit mungkin," ujarnya.
Akhirnya, tahun 1977 Puji memutuskan
hijrah ke Surabaya. "Saya merasa tidak akan maju jika tetap berada di
Sampit," paparnya. Tiba di Surabaya, tempat pertama yang ditujunya adalah
pasar loak. "Banyak ide-ide saya yang muncul dari pasar loak. Bahkan,
kebiasaan jalan-jalan ke pasar loak itu tetap saya lakukan hingga kini,"
tandas Puji.
Ketika usianya menginjak 25 tahun, Puji
menikahi Tri Ida Setiani, gadis manis asal Jombang yang memberinya tiga orang
putra. Setelah menikah, ketertarikan Puji pada hal-hal yang berbau teknik
semakin menggebu. Hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk mempelajari motor
listrik dan bongkar pasang mesin.
Kegilaan Puji pada dunia teknik makin
menjadi-jadi tahun 1992. "Di tahun itulah awal mula saya menemukan ide
untuk membuat motor listrik Taheta," paparnya. Didukung peralatan
seadanya, Puji mulai mengerjakan proyek barunya itu. "Saya menggarap motor
listrik ini siang malam. Bahkan, saya tidak bisa tidur jika pekerjaan belum
selesai," akunya. Perkakas yang digunakan, kebanyakan didapatnya dari
pasar loak. "Semua komponen saya rakit sendiri. Hanya klaher (bearing) dan
platina saja yang bikinan pabrik," terang Puji. (Firzan Syahroni) --- Sumber: Harian Jawa Pos, 20 Desember 2002.
7. RIZAL
& JUFFRI SAHRONI
Penemu Alat Penghemat Bahan Bakar Diesel
Mobil diesel anda ingin lebih bertenaga
dan hemat bahan bakar? Ada satu penemuan mutakhir dan canggih dari karya cipta
anak-anak bangsa ini, yakni MAX-PC. Teknologi ini dirancang untuk meningkatkan
tenaga mesin diesel mobil anda, meningkatkan penghematan bahan bakar dan
menurunkan tingkat kebisingan mesin tanpa harus mengubah mesin anda dari
spesifikasi standar pabrik. Menariknya, sejarah penemuan formula ini berawal
dari hal yang tidak disangka-sangka. Saat itu kumpulan anak-anak muda yang hobi
dan gila utak-atik mobil, antara lain Rizal Simanjuntak dan Juffri Sahroni
berhasil menemukan sebuah teknologi rancang bangun mesin untuk meningkatkan
tenaga mesin diesel. Akhirnya mereka mendirikan R&D dengan nama MAXIMIZER.
Dari pengalaman berbulan-bulan mengamati
dan mengutak-atik mesin mobil, mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah
teknologi rancang bangun untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan mesin
diesel. Produk itu dinamakan MAX-PC dan telah dipatenkan.
Bentuknya kira-kira sebesar bungkus rokok.
Namun produk yang amat mudah dipasang di mesin kendaraan tersebut didesain
penciptanya menjadi produk `pintar`. Produk ini didesain untuk sebuah target
perbaikan. Dia dapat meningkatkan akselerasi gas buang, dapat meningkatkan top
speed kendaraan diesel. Selain itu produk ini diciptakan untuk menambah tenaga
pada semua tingkat kecepatan. Bukan hanya itu saja, keunggulan lainnya, dapat
menurunkan getaran mesin, menurunkan tingkat kebisingan, dan penghematan bahan
bakar.
Menurut Rizal Simanjuntak, peningkatan akselerasi
dapat dirasakan pada tiap tingkat kecepatan. Untuk semua jenis dan merek mobil
diesel keluaran tahun 1995-2002, akselerasinya mencapai maksimal 2-6 detik.
Sedangkan untuk mobil diesel keluaran dibawah tahun 1995 dapat meningkatkan
akselerasi hingga 10-20 detik. Sedangkan untuk penurunan kebisingan dapat
dicapai rata-rata antara 1,5 dB hingga 3 dB.
"Kadar suara dengan sendirinya memang
dapat turun karena beban kerja mesin menjadi lebih ringan," jelas Rizal.
Soal penghematan bahan bakar, buktikan saja. Bahan bakar yang dihemat setelah
mesin dipasangi alat ini mencapai rata-rata 5-10 persen. Jika pemakaian bahan
bakar mobil diesel anda -untuk berbagai macam aktivitas-, tiap harinya
rata-rata 50-100 liter, maka anda dapat menghemat antara 5-10 liter. Lumayan
juga! Uniknya, alat ini hanya dijual seharga Rp 1,250 ribu. Murah bukan? Jika
kita melihat pelayanan purna jualnya. Produsen MAX-PC, yakni MAXIMIZER memberi
garansi pada alat yang dijualnya SEUMUR HIDUP! Bayangkan. Jadi jika MAX-PC
memang tidak mampu memenuhi semua kelebihannya seperti yang diceritakan diatas
maka konsumen boleh mengembalikan tanpa membayar. Dan jika alat ini tidak
berfungsi atau rusak, maka produsen atau bengkel resmi penyalurnya akan
mengganti dengan alat baru tanpa bayar alias gratis. Konsumen cukup membayar
bila terjadi perbaikan.
Pabrik MAXIMIZER pun membuat pelayanan
atau aturan main penjualan yang benar-benar customer satisfaction. Tiap mobil
yang akan dipasang MAX-PC, dilakukan pengetesan sebelum dan sesudah produk
MAC-PC terpasang. Dan perbandingan kondisi kendaraan sebelum dan sesudah MAX-PC
terpasang --misalnya peningkatan tenaga, akselerasi, kebisingan suara dan hemat
BBM-- terbukti, menjadi acuan kesepakatan bertransaksi antara pemilik mobil dan
bengkel resmi penjual MAX-PC yang ditunjuk MAXIMIZER.
Panduan perbandingannya ialah, untuk uji
akselerasi (0-100 kilometer) dan uji kebisingan (menggunakan dB meter). Alat
MAX-PC ini akan dipasang di sela-sela saluran engine, injector dengan tangki
bahan bakar. Jadi tidak mengganggu spesifikasi mesin secara standar, tidak
membutuhkan tambahan power dari aki atau mesin.
Lebih jauh Rizal mengungkapkan, alat ini
sengaja didesain dengan menggabungkan sourcing dari beberapa tempat. Untuk bodi
MAX-PC, MAXIMIZER selaku pemilik paten mengambil bahannya dari pabrik mesin di
sekitar Tegal dan Klaten Jawa Tengah. Bodi alat terbuat dari alumunium yang
tahan panas dan bisa mengalirkan tenaga secara maksimal. Kemudian untuk
pembuatan enginenya, MAXIMIZER menggunakan fasilitas milik pabrik pesawat
terbang IPTN di Bandung guna menyediakan rancangan engine dalamnya.
"Pokoknya komposisi alat ini 60 persen lokal dan 40 persen dengan presisi
tinggi," ujarnya.
Pada kesempatan ini Rizal juga membuka
kesempatan pada bengkel atau agen di daerah yang ingin membuka agen penjualan
MAX-PC. "Syaratnya mudah kok, datang saja ke markas kami di Jalan Pangeran
Antasari Nomor 70, Cipete, Jakarta Selatan, nomor teleponnya 766-2205, nanti
kita bicarakan bersama," ujarnya. Menurut taksiran Rizal untuk membuka agen
penjualan atau bengkel dibutuhkan investasi sekitar Rp 300 juta. Tapi itu bagi
mitra yang memang benar-benar mulai dari nol alias tidak punya bengkel. Bagi
yang sudah punya tempat dan bengkel, investasinya kecil sekali. "Dan kami
tidak menggunakan metode yang rumit pada pola mitra dagang dan
pendistribusiannya, nantinya kita tinggal bagi hasil saja," tutur Rizal.
Saat ini sudah ada beberapa tawaran masuk untuk menjadi mitra, yakni dari
Semarang dan Surabaya. Namun dari Bandung, Medan, Ujung Pandang, dan kota-kota
besar lainnya masih terbuka luas. (Edo) ---
Sumber: MandiriDotCom, 26 April 2002.
gmana guys,udah jadi termotivasikan?
ayo kita juga harus berkarya layak nya ilmuan-ilmuan diatas, sampai jumpa lagi guys. ;)
Posting Komentar